Senin, 05 Desember 2011

GENDER DAN KETIDAKADILAN GENDER

JUDUL                       : KONSTRUKSI MASYARAKAT TENTANG GENDER               YANG         MENIMBULKAN KETIDAKADILAN GENDER

A.    PENDAHULUAN
Dalam beberapa wacana yang  berkembang  di masyarakat, tidaklah salah jika ditanyakan tentang sosok perempuan ideal, jawabnya adalah sebagai Ibu dan istri yang baik. Ketika pertanyaan yang sama diajukan pada sekelompok perempuan, mereka juga menjawab dengan jawaban seperti tersebut, ketika ditanyakan lagi, ibu dan istri yang baik itu yang bagaimana, mereka pasti akan menjawab yaitu wanita yang nurut pada suami, yang merawat anak-anaknya dengan baik (Abduallah, 1997). Sebagai istri dan ibu yang baik haruslah yang selalu patuh dan barada di samping suami dan anak-anak serta mendorong keberhasilan suami. Blue-print semacam ini berkembang dan ikut dilanggengkan oleh institusi dan pranata yang ada dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi cara pandang tidak saja oleh laki-laki terhadap sosok perempuan, tetapi juga terhadap peremuan itu sendiri dalam memandang sosok dirinya dan mengambil tempat dalam mengambil tempat dalam berbagai proses sosial dalam masyarakat.
Agaknya gambaran tersebut diatas sudah tidak bisa dipertahankan terus-menerus secara absolut, mengingat seiring dengan kemajuan jaman banyak perempuan keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah, demi tegaknya ekonomi rumah tangga. Pada tataran berikutnya mulai berkembang fenomena bahwa ada juga perempuan bekerja keluar rumah aspirasi dan aktualisasi diri.
Fenomena perginya perempuan seorang perempuan keluar rumah untuk bekerja seolah menandakan  adanya “gugatan” ideologi familialisme yang selama ini menjadi anggapan di masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang nrimo, selalu menurut dan merawat anak dan suami. Beban atau tugas-tugas tersebut merupakan tugas rutin perempuan yang ditempatkan sosoknya sebagai Ibu dan istri.
Bagaimanapun, slogan “partisipasi perempuan dalam pembangunan” yang selalu didengungkan sejak jaman Orde Baru telah turut memicu semangat para perempuan untuk bekerja keluar rumah. Era indrustrialisasi yang mulai dikembangkan juga mempunyai andil yang besar bagaimanapun perempuan berbondong-bodong meninggalkan sektor domestik kedunia publik. Meskipun, keduanya telah banyak terbukti makin menyebabkan termarginalisasinya kaum perempuan.
Pilihan perempuan untuk keluar rumah bekerja akan membawa berbagai implikasi baik sosial, ekonomi, politis dan psikologis. Dunia kerja yang selama ini dianggap milik laki-laki sebagai dunia publik mulai mendapat “penghuni” baru yang namanya perempuan yang selama ini selalu diasumsikan “menghuni” dunia domestik, dunia “rumahan”.  Tentu saja pergeseran ini akan membawa dampak pada perempuan, laki-laki dan masyarakat secara umum.
Mungkin banyak orang yang belum memahami akan konsep gender itu sendiri dan mengapa gender bisa menimbulkan ketidakadilan gender dan bias gender. Untuk itu dalam karya ilmiah ini penulis ingin menyampaikan berbagai hal yang berhubungan dengan konsep gender diantaranya adalah:
1.      Konsep gender, jenis kelamin dan kodrat.
2.      Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan.
3.      Ketimpangan gender di berbagai bidang.



B.     KONSEP GENDER DAN KELAMIN.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin), dan konsep gender.pemahaman dan pembadaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah di perlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks. Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996). Misalnya, manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduki sperma. Sedangkan manusia jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki rahim, mempunyai payudara, vagina, dn indung telur. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan kodrat.
Sedangkan konsep gender yakni, suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung selama terus menerus dan dilanggengkan di berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut “merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh keduanya”. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, nrimo, manut, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya cirri atau sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, perkasa anpa harus bertukar jenis kelamin. Perubahan sifat-sifat yang dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dari tempat ketempat yang lain, dari waktu ke waktu, dan dari masyarakat yang berbeda.
Jadi semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Jadi selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan namanya bukan kodrat, tetap konstruksi gender.
C.     PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur dimana baik dari kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotope atau melalui pelabelannagatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satupun manisfestasi ketidakadilan gender yang lebih penting , lebih esensial, dari yang lain. Misalnya, marginalisasi ekonoimi kaum perempuan justru terjadi karena stereotype tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada subordinasi, kekerasan pada kaum perempuan, yang akhirny tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi kaum perempuan adalah menetukan dan terpenting dari yang lain d oleh karena itu perlu mendapat perhatian lebih. Atau sebaliknya bahwa kekerasan fisik adalah masalah paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu.
1.      Gender dan Marginalisasi  Perempuan
Salah satu bentuk pemiskiskinan perempuan yang disebabkan oleh gender, dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.selain itu juga progam pembangunan  pemerintah ya menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya, progam swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaanya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, progam revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh llebih rendah, dan pendekatan panen dengan system tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin didesa termarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti progam revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan Negara. Marginalisasi perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak suku-suku di Indonesia yang tidak member hak pada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberikan hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
2.      Gender dan Subordinasi
Pandangan gender juga bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempua tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gendertersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan, pemerintah pernh memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar    dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas belajar keluar negeri harus seijin suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar  jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahka anak-anaknya maka anak laki-laki yang akan mendapatkan prioritas utama.
3.      Gender dan Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dan stereotype selalu merugikan menimbulkan ketidakadila. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan  ynag dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah daam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan dinomor duakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikemangkan karena stereotipe tersebut.
4.      Gender dan Kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya:
·         Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan.
·         Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga.
·         Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
·         Kekerasan dalam bentuk pelacuran.
·         Kekerasan dalam bentuk pornografi.
·         Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana.
·         Jenis kekerasan terselubung, yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
·         Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakuka dimasyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual.
5.      Gender dan Beban Kerja
Anggapan bahwa kaum perempun memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempua yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari mebersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi dan memelihara anak.
D.    KETIMPANGAN GENDER DIBERBAGAI BIDANG
1.      Ketimpangan Gender dibidang Politik
Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai factor hal itu jarng sekali terjadi. Factor utmanya adalah pandangan stereotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsian sebagai milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur  atau domestik. Tidak bisa berpikir rasional dan kurang berani mengambil resiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotipe perempuan. Akibatnya baik perempuan maupun laki-laki dan masyarakat secara umum sudah menarik kutub yang berbeda dunia public milik lakilaki dan dunia domestic milik perempuan.
2.      Ketimpangan Gender dalam Bidang Ekonomi
Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang meyebabkn perempuan tidak diakui perananya karena kiprahnya hanya disekitar ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih sedikit pengakuan pada kaum perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku ekonomi karena dianggap itu hanya kerja main-main bukan kerja yang prestisuis, seperti halnya yang dilakukan oleh laki-laki. Kiprah laki-laki didunia ekonomi diakui karena mereka bisa masuk pada level penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan strategis pada kantor-kantor yang terkait dengan perekonomian. Sementara perempuan belum banyak yang menduduki level tersebut, akibatnya kegiatan perempuan dibidang ekonomi yang terpusat pada sekitar keluarga dan dirinya sendiri, meskipun menghasilkan bahkan menjadi penunjang hidup keluarga, tak diakui dan hanya dianggap sebagai pekerja sambilan.
Banyak hal yang masih mencerminkan ketimpangan dibidang ekonomi, misalnya upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar, karena perempuan dianggap lajang bukan kepala keluarga, bila akan mengajukan kredit di Bank masih harus memerlukan tanda tangan suami sementara jika suami yang mengajukan tidak perlu minta tanda tangan istri, meskipun keadaanya istripun yang tanggung jawab terhadap utang tersebut.
3.      Ketimpangan Gender dalam Dunia Kerja
Kerasnya dunia publik menunjukan bahwa perempuan belum di akui sebagai pekerja profesional. Perempuan sebagai obyek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam bidang publik, padahal perempuan sudah mampu memainkan peran sebagai subyek dalam berabagai proses  ekonomi. Sector public Nampak belum disiapkan untuk mnerima kaehadiarn kaum perempuan dengan semestinya. Hal ini memaksa erempuan untuk selalu berusaha menjadi laki-laki didunia kerja. Dia harus bersaing ketat dengan rekan sesame kerja yang tidak saja laki-laki tetapi juga perempuan. Dia harus menunjukan kemampuannya bahwa dia tidak seperti blue- print yang selama ini ada, hanya bisa menjadi ibu dan istri tetapi juga harus menunjukan bahwa dia juga bisa menjadi pekerja yang professional.
Ketika melamar pekerjaan seorang perempuan tidak sja dipandang kualitas intelektualitasnya, melainkan juga sosok dan status sebagai perempuan. Biaya ideologis yang harus dibayar adalah, permpuan hars mampu memenuhi criteria tersebut, tidak hanya berkualitas tapi juga berusaha menampilakan diri habis-habisan agar sebagai pendatang dia bisa diterima.
4.      Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Dalam hal pendidikan normal, perempuan diseluruh dunia menghadapi problem yang sama. Disbanding lawan jenisnya, kesertaan perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Jumlah murid perempuan umumnya hanya separoh atau sepertiga dari jumlah murid laki-laki. Demikian pula dalam jenjang pendidikan tinggi, kesertaan perempuan sangat rendah dan umumnya terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora, dan bidang pendidikan .
            Sistem  pendidikan yang berlaku di sekolah cenderung memperkuat ketimpangan gender. Ilustrasi buku pelajaran dan bacaan lain menampilkan figur-figur laki-laki sebagai pemegang stetoskop, tabung reaksi, dan computer. Sedangkan figure perempuan sebagai pemegang alat-alat penunjang kehidupan domestic.

E.     PENUTUP
Perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan dan Negara. Melalui proses yang panjang sosialisasi gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang tak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Misalnya, karena konstruksi sosial, laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat yang dikonstruksikan tersebut. Yakni, secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya kaum perempuan harus lemah lembut, pasif, maka perempuanpun terlatih dan termotivasi untuk menjadi sosok perempuan yang diinginkan masyarakat. Hal ini disosialisasikan oleh keluarga sejak kecil dan berlanjut sampai dewasa meskipun perempuan bekerja dan berkarir bagus, perempuan tetap harus bertanggungjawab terhadap urusan domestic, sementara laki-laki tetap dianggap sebagai kepala keluarga yang urusanya mencari nafkah dan tidak perlu bertanggungjawab dengan urusan domestic, meski pada akhir-akhir ini perempuan menjadi kepala keluarga yang mencari nafkah, tetapi tidak pernah diakui.
Dari perbedaan gender inilah yang kemudian menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan tersebut diantaranya marginalisasi perempuan, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja ganda. Selain itu juga menimbulkan ketimpangan gender diberbagai bidang. Diantaranya adalah dibidang politik, ekonomi, dunia kerja, dan juga pendidikan.
Semua manefestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi. Hal itu tersosialisasikan kepada laki-laki dan perempuan secara mantap yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupakn kodrat. Lambat laun tercipatalah suatu struktur dan system ketidakadilan gender yang diterima dan sudah menjadi hal yang tak lagi dapat dirasakan ada sesuatu yang salah.



















DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia.
Handoyo, Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: FIS UNNES.














0 komentar:

Posting Komentar

 
;